Tiga hari berlalu dan itu waktu yang sangat lama bagi Ki Bano. Tangis istrinya , juga adik dan kakak Lasih, belum lagi seribu pertanyaan dari saudara-saudara lainnya, bagai sembilau yang menyayat-nyayat hatinya. Sampai kapan istriku bisa tutup mulut tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Lasih? Ia kuatir istrinya keceplosan omong sehingga semua akan tahu jika Lasih tetap dipaksa menjadi sintren meski sudah tidak perawan. Jika sampai hal itu terjadi, rasanya bukan hanya keluarganya yang akan menyalahkan, melainkan seluruh isi kampung, terutama Ki Sandireja.
Alasan itu juga yang memaksa Ki Bano untuk menahan diri setiap kali wajah Ratman berkelebat dalam pikirannya. Tidak sulit bagiku untuk membunuh bajingan itu. Tidak perlu bantuan orang lain untuk membalas sakit hati Lasih dan juga rasa sakit hatiku. Tetapi bagaimana jika sampai ada yang tahu aku yang telah membunuhnya? Pasti semua orang akan mengaitkan hilangnya Lasih dan kematian Ratman. Apa yang sekarang harus aku lakukan? tanya Ki Sandireja pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang sudah tiga hari menggemuruh dalam hatinya namun tidak juga menemukan jawaban.
Kini masalah kembali bertambah ketika Somad datang untuk meminta pendapat.
“Ki Sandireja meminta bantuan tenaga saya untuk pentas sintren Sekar Malam…”
Jika saja ucapan itu keluar dari mulut Somad seminggu yang lalu, tentu mudah bagi Ki Bano untuk menjawabnya. Bahkan mungkin dia akan menyuruhnya untuk bergabung selamanya dengan sintren Sekar Malam. Namun saat ini ia tidak bisa memutuskan. Membiarkan Somad bergabung dengan grup sintren lain- meski hanya sementara, sangat beresiko. Bisa saja Somad menceritakan apa yang terjadi di sini. Ia tahu watak Ki Sandireja. Tawaran kepada Somad agar mau bergabung tentu juga disertai motif lain, batin Ki Bano.
“Aku tidak bisa memutuskan sebelum Lasih ditemukan,” ujar Ki Bano setelah lama terdiam.
“Ya itu, Ki. Saya merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi permintaa sampyen. Sangat sulit mencari laki-laki yang masih perjaka…”
“Tetapi ini baru tiga hari. Terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan kalau Lasih tidak mungkin bisa ditemukan dan sintren Kemuning Senja akan mati!” sergah Ki Bano dengan suara tinggi. Bahkan tangannya semoat menggebrak meja sehingga Simad hamper terjengkang karena terkejut. Kemarahan yang sudah tertahan selama ini muntah ketika menemukan alasan.
“Tawaran Ki Sandireja hanya untuk bergabung sementara…”
“Itu hanya taktik Sandireja. Itu hanya alasanmu saja. Tapi yang pasti kamu pun percaya dengan omongan orang-orang di luar sana bahwa Lasih sudah mati dimakan setan!”
“Maaf, Ki, saya hanya meminta saran karena…”
“Dulu aku meminta bergabung di sini karena kamu sudah tidak dipakai oleh grup sintren mana pun. Apalagi Sekar Malam. Ki Sandireja tahu seperti apa kualitasmu. Tidak ada nilai lebihnya. Sekarang dalam kondisi seperti ini kamu pamit. Silahkan… Silahkan saja bergabung dengan Sekar Malam. Tapi ingat, jika sampai ada yang tahu apa yang terjadi sebelum pentas sintren di pendopo, aku akan meminta pertanggungjawabanmu!”
“Maaf, Ki, saya hanya….”
“Satu hal lagi,” potong Ki Bano tetap dengan nada tinggi. “Kelak jika aku bisa menggelar pentas lagi, kamu tidak perlu bergabung!”
Usai mengucapkan kalimat itu, Ki Bano berdiri. Meski tidak ada isyarat, Somad tahu, Ki Bano telah mengusir dirinya. Dengan wajah tertunduk, Somad pun beranjak. Kini ia menyesal mengapa menyampaikan tawaran Ki Sandireja.
“Selamat sore…”
Somad mendongak, bersirobok pandang dengan Arya tepat di depan pintu. Meski pernah bertemu beberapa waktu lalu, namun Somad tidak mengenali. Dia bahkan tampak acuh dan tidak menjawab salam Arya.
“Maaf, Pak, apakah Ki Bano ada di rumah?”
Somad melengos, namun memberi jalan Arya untuk masuk.
“Ki Bano ada?”
Dengan terpaksa Somad mengangguk lantas buru-buru meninggalkan rumah juragannya. Ia tidak ingin mendapat semburan amarah Ki Bano untuk kedua kalinya. Berita hilangnya Lasih sudah menyebar kemana-mana dan semakin banyak saja yang ingin tahu kisahnya. Somad yakin laki-laki muda yang tadi berpapasan di pintu, hanya ingin mendengar kisah Lasih. Somad bisa membayangkan seperti apa teriakan dan caci-maki Ki Bano pada tamunya.
Namun dugaan Somad meleset. Meski masih diliputi amarah, namun Ki Bano bisa merasakan aura Arya. Keingintahuannya yang besar terhadap sintren berbeda dengan lainnya.
“Saya ingin membuat skripsi tentang sintren. Saya sudah mencari referensi ke berbagai daerah, namun katanya Ki Bano yang paling tahu soal sintren…”
“Apakah kamu mendengar cerita tentang Lasih?” pancing Ki Bano.
“Ya, saya mendengarnya kemarin sewaktu masih di Jakarta. Dari berita di internet. Makanya saya buru-buru ke sini.”
“Apa yang kamu ketahui tentang Lasih?”
“Kebetulan saya sempat berbincang dengan Lasih…”
“Kapan?”
“Sekitar seminggu atau mungkin 5 hari yang lalu.”
“Di mana?”
“Di sini.”
“Hemm…”
“Saya kaget ketika membaca berita Lasih hilang. Apa betul, Ki?”
Ki Bano tidak menjawab. Tatapannya menghujam membuat nyali Arya menciut. Ia sudah banyak mendengar tentang kehebatan Ki Bano, terutama dalam penguasaan ilmu gaib. Bahkan yang Arya dengar, Ki Bano bisa menyantet orang.
“Maaf jika pertanyaan saya menyinggung perasaan Aki,” ujar Arya. Suaranya berubah memelas.
“Apakah betul kamu ingin tahu tentang sintren?” tanya Ki Bano tanpa memperdulikan ketakutan lawan bicaranya.
“Be…betul, Ki.”
“Untuk bisa mengetahui sintren, kamu harus masuk ke dunianya. Bukan hanya mendengar cerita orang. Kamu harus merasakan sendiri.”
“Maksud Aki?”
“Kamu harus menjadi sintren!”
BERSAMBUNG