Sepeninggal Ki Bano, emak dan beberapa orang kepercayaan Ki Bano terpekur dalam kebisuan. Air mata emak tak henti mengalir. Ia tidak tega melihat kondisi Lasih. Raganya sudah sangat lelah. Namun gerakkan tariannya tetap gemulai dan lincah karena digerakkan oleh kekuatan lain yang bersemayam dalam tubuhnya.
“Bagaimana kalau kita panggil pak kiyai?” cetus seseorang.
“Jangan, nanti KI Bano marah,” cegah lainnya.
“Tapi KI Bano pasti akan maklum. Lagi pula Ki Bano juga pernah beberapa kali meminta bantuan kiayi,” ujar pencetus ide untuk memanggil kiayi.
“Ini tidak ada hubungannya dengan seorang kiayi. Saya tahu maksudmu, agar pak kiayi mengusir roh halus dalam tubuh Lasih. Tetapi yang perlu sampeyan ingat, jika roh Dewi Lanjar dipaksa pulang tidak dengan cara-cara yang lazim, saya takut besok tidak akan mau datang lagi saat pementasan.”
“Lalu sekarang kita harus bagaimana?”
“Kita tunggui sampai Lasih, eh maksud saya, Dewi Lanjar puas menari…”
“Sampai kapan?” sergah temannya.
“Saya tidak tahu. Tetapi untuk memutuskan sesuatu yang sangat penting, biar Ki Bano saja. Tadi kita hanya dipesan untuk menjaga Lasih.”
Hening kembali. Hanya isak emak yang terdengar.
Menjelang pagi terjadi kegemparan. Saat Ki Bano pulang dengan wajah letih, ia mendapati semua orang yang menjaga Lasih, termasuk Emak, tengah tidur di ruang tengah. Posisi mereka tidak berubah. Emak tidur sambil duduk di lantai. Punggung sambil bersandar di dinding. Sementara Somad dan lainnya tertidur di kursi. Namun bukan itu yang membuat Ki Bano meradang. Ia bergegas ke kamar Lasih. Tidak ada. Ki Bano buru-buru melongok ke kemar ritual hingga dapur. Namun yang dicari tidak juga ketemu.
“Bangun…!” teriak Ki Bano.
Sontak semua terbangun dengan wajah terkejut dan bingung. Terlebih ketika Ki Bano melanjutkan teriakannya, “Mana Lasih?!”
Reflek Emak berdiri lalu berlari ke kamar. Namun ketika ia hendak ke dapur, langkahnya tertahan oleh berondongan Ki Bano, “Lasih tidak ada. Aku sudah mencari ke semua tempat!”
Emak kembali ke ruang tengah. Langkahnya limbung. “Di mana Lasih?” gumannya antara gugup dan takut.
“Bukankah sebelum pergi sudah aku pesan supaya kalian menjaganya!” sentaknya Ki Bano membuat Emak tidak berani lagi berguman.
“Mau kemana kamu?!” teriak Ki Bano ketika melihat Somad dan teman-temannya beranjak ke pintu depan.
“Mau mencari Lasih, Ki.”
“Kamu mau mencari ke mana?”
“Mungkin dia ada di luar. Maksudnya kalau pun pergi, mungkin belum jauh karena seingat saya, kami baru saja tertidur. Entah kenapa tiba-tiba rasa kantuk menyerang dan kami semua tertidur…”
“Seperti kena sirep,” lanjut lainnya. Ilmu sirep biasanya digunakan oleh maling dengan tujuan agar penghuni rumah yang akan dijadikan sasaran, tertidur pulas. Namun alasan itu jelas tidak bisa diterima oleh Ki Bano.
“Tidak ada sirep. Kalau ada yang bermain-main dengan ilmu di rumah ini, aku pasti bisa merasakannya. Kalian hanya cari alasan saja!” sentak KI Bano.
Namun tak urung Ki Bano tetap membiarkan Somad dan teman-temannya keluar rumah. Mereka lalu berpencar mencari Lasih. Emak yang akan ikut keluar, langsung dicegah oleh Ki Bano dengan isyarat tangan. Emak kembali duduk di atas kursi kayu. Wajahnya semakin kuyu. Tangisnya kini tanpa air mata. Firasatnya mengatakan, saat ini Lasih dalam kesusahan sementara dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berharap suaminya segera menemukan jalan keluarnya. Meski berdiri mematung tetap di mana tadi Lasih menari, Emak tahu suaminya tengah mencoba mencari Lasih dengan mata batinnya.
Benar saja. Tiba-tiba Ki Bano meloncat dan bergegas keluar rumah. Ia mencari Somad dan menemukan laki-laki bertubuh gempal dengan rambut acak-acakan itu tengah mengendap-endap di dekat rumpun bamboo di belakang rumahnya.
“Sini,” kata Ki Bano dengan suara rendah seolah takut suaranya didengar orang lain.
“Ada apa, Ki?”
“Lasih dibawa Dewi Lanjar ke istananya…”
“Ke dalam laut?” sahut Somad tanpa sadar.
Ki Bano mengangguk. “Tetapi hanya jiwanya, sementara raganya di tinggal di suatu tempat yang aku tidak tahu.”
“Lalu?”
“Carikan aku bocah lanang yang masih perjaka…”
“Untuk apa?”
“Jangan banyak tanya!” sentak KI Bano tak senang.
Somad menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sebenarnya ingin kembali bertanya, di mana mencari perjaka itu. Tetapi karena takut pertanyaannya akan membuat KI Bano semakin meradang, Somad hanya menyimpannya dalam hati lalu diam-diam mengikuti langkah Ki Bano.
Sampai di dalam rumah, keduanya larut dalam diam. Ya, kemana harus mencari laki-laki perjaka?
***
Ki Sandireja tidak berusaha menutupi rasa senangnya ketika mendengar kondisi Lasih. Meski ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun ia yakin Ki Bano sudah melakukan kesalahan fatal. Mungkin saja Dewi Lanjar marah karena ubo rampe yang disediakan kurang. Atau ada hal lain yang lebih fatal?
Ki Sandireja terus bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban. Meski begitu, Ki Sandireja merasa senang. Ini peluang bagi saya, guman Ki Sandireja. Order pentas sintren akan kembali mengalir tanpa ada saingan. Sintren Kemuning Senja pasti tidak akan bisa pentas lagi selama Lasih belum ditemukan. Dan mungkin saja selamanya Kemuning Senja tidak akan bisa menggelar pementasan lagi. Ki Sandireja yakin Lasih tengah ditawan oleh Dewi Lanjar di suatu tempat dan kelak akan dikembalikan setelah jasadnya membusuk.
Ki Sandireja semakin senang setelah tahu dirinya bukan penyebab semua itu. Jika beberapa hari yang lalu dia marah kepada Ratman karena tidak menepati janji, sekarang ia bersyukur karena Ratman tidak jadi melaksanakan niatnya.
“Sumpah KI, aku tidak melakukan apa-apa,” ujar Ratman.
“Mengapa waktu itu kamu tidak datang ke hutan karet?”
“Aku lupa, Ki.”
Ki Sandireja percaya pada omongan Ratman. Buktinya Lasih tidak cacat atau sakit karena esoknya tetap bisa pentas di pendopo kabupaten. Padahal saat itu Ki Sandireja sudah menyetujui usulan Ratman untuk melukai Lasih agar tidak bisa pentas di pendopo.
“Mustar, coba kamu temui Somad,” perintah Ki Sandireja. Mulutnya mengepulkan asap rokok kretek. Mengki terhalang meja panjang, namun Mustar dapat mencium bau asap itu. Ki Sandireja suka menambahkan kemenyan dalam rokok bikinin pabrik itu. Biasanya kemenyan itu digerus halus lalu dimasukan ke sela-sela tembakau rokoknya.
“Untuk apa Ki?”
“Ajak dia bergabung dengan grup sintren kita.”
“Mana dia mau, Ki. Somad kan andalan Ki Bano…”
KI Sandireja tertawa. Memamerkan giginya yang kehitaman karena seumur-umur dia tidak pernah gosok gigi. Bahkan ada kabar menyebut, hal itu merupakan salah satu pantangan bagi Ki Sandireja terkait ilmu yang dimilikinya. Jika sampai menggosok gigi, diyakini Ki Sandireja tidak akan bisa memanggil roh Dewi Lanjar lagi.
“Dulu kamu pun sempat akan pergi dari sini ketika order pentas sedang sepi,” sindir Ki Sandireja.
Wajah Mustar menebal. Ya, siapa yang akan betah bertahan di satu grup kesenian jika tidak pernah pentas. Sebab mereka mendapat bayaran hanya jika ada pementasan.
“Tapi grup Ki Bano sedang laris-larisnya. Bahkan kabarnya sampai menolak order….”
“Itu kemarin, sebelum Lasih hilang,” potong Ki Sandireja. “Sekarang bagaimana mereka mau pentas sedangkan Lasih saja tidak tahu di mana rimbanya.”
“Betul juga, Ki…”
“Saya lebih tahu dari kamu,” lagi-lagi Ki Sandireja memotong ucapan Mustar. “Sekarang temui saja Somad. Suruh dia ke sini!”
“Baik, Ki…”
“Tapi hati-hati, jangan sampai Bano tahu!”
Mustar mengangguk.
BERSAMBUNG