Quantcast
Channel: Cerbung – yonbayucom
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Sintren Getun #2

$
0
0
Facebooktwittergoogle_plusredditpinterestlinkedinmail

Tidak berapa lama setelah lagu selesai dinyanyikan, kurungan bergetar pertanda dewa sudah turun dan tubuh Lasih sudah dirasuki Dewi Lanjar. Perlahan Ki Bano memegang ujung kurungan, mengangkatnya secara perlahan. Semua mata terarah pada kurungan. Mereka segera ingin mengetahui apakah Lasih sudah terbebas dari ikatan dan selesai berdandang dalam tempo waktu yang sangat singkat.

Padahal hampir semua penonton sudah pernah menyaksikan pertunjukkan itu, namun tetap saja rasa ingin tahu mereka sangat besar. Mata mereka nyaris tidak mengerdipkan menatap kurungan. KI Bano tahu bagaimana mempermainkan emosi penonton, sehingga dia sengaja mengangkat kurungan itu selama mungkin.

Penonton merangsek ke depan. Nyaris tidak ada lagi celah untuk menggeser kaki.  Meski panas tidak lagi menyengat seperti tadi, namun debu yang memenuhi arena pertunjukkan membuat suasana bertambah gerah. Bayi mungil yang tadi terlelap dalam gendongan ibunya, mendadak bangun dan langsung menangis keras karena kepalanya sempat terkena siku pemuda tanggung yang tengah mencoba merangsek ke depan. Tidak ingin dirinya menjadi penyebab kegaduhan, sang ibu langsung mengeluarkan teteknya dan menyorongkan pada mulut anaknya. Meski masih menyisakan segukan, bayi itu pun akhirnya diam dan perlahan kembali tertidur sehingga teteknya terlepas. Namun sang ibu tidak sempat lagi memasukan teteknya. Konsentrasinya kini tertuju pada kurungan yang tengah diangkat oleh Ki Bano.

Begitu kurungan terangkat, tampaklah Lasih tengah duduk bersimpuh. Kepalanya tertunduk. Ikatannya terlepas. Tubuh Lasih sudah dibalut pakaian tari, lengkap dengan memakai topi dan kaca mata hitam. Selendangnya dikalungkan di leher. Sikunya menekuk di mana tangannya memegang kedua ujung selendang. Wajahnya dipenuhi bedak tebal dengan garis-garis pinsil yang tidak halus di bagian atas matanya. Namun penonton tidak akan melihat sedetail itu. Mereka merasa lega karena sudah melihat sosok Lasih yang berubah menjadi sangat cantik dan siap menghibur mereka dengan tariannya.  Meski tahu, namun mereka tidak peduli bahwa sosok yang dilihatnya sekarang bukanlah Lasih yang sebenarnya. Ada arwah lain yang kini bersemayam di dalam tubuh gadis perawan itu. Ya, arwah Dewi Lanjar-  yang mereka yakini sebagai penguasa pantai utara, kini telah menguasai tubuh Lasih dan siap untuk menari, mengundang Sulandono- sang kekasih abadi.

Musik semakin syahdu. Perlahan Lasih berdiri. Ia kemudian naik ke atas kurung dan mulai menari dengan gerakan yang sangat gemulai. Ke empat danyang segera merapat, menyambut Sintren. Mereka berdiri berjajar di belakangnya sambil terus menari. Setelah puas menari di atas kurungan, Lasih turun dengan bantuan para danyang. Setelah itu kembali menari dengan gerakan yang semakin cepat. Setelah Sintren benar-benar sempurna, Ki Bano menepi dari kalangan, berdiri dekat dupa sambil mengawasi Sintren dan penonton.

Semakin lama tarian Lasih semakin indah. Meski gerakannya tidak teratur, namun enak dilihat karena seperti tengah menari secara berpasangan. Padahal di depan Sintren tidak ada siapa-siapa. Penonton meyakini roh Sulandono sudah hadir dan ikut menari di situ. Musik semakin menyayat dan membuai dua sosok yang tak terlihat manusia. Mereka tengah memadu kasih abadi- kasih yang tak sampai ketika keduanya hidup di alam nyata.

Tiba-tiba sebuah bungkusan melayang dan mengenai tubuh Lasih. Sintren itu spontan jatuh terkulai. Pingsan. Rupanya yang melempar Ratman. Dia tertawa senang karena lemparannya tepat sasaran. Beberapa orang menoleh pada preman kampung itu, namun buru-buru membuang muka karena takut disemprot.

Ki Bano masuk ke lingkaran, mendudukkan  Lasih. Ia memegang kedua telapak tangannya lalu mengangkatnya di atas dupa yang dipegang salah satu pengurus grup Sintren Kemuning Senja sambil merapal mantra. Memanggil kembali roh Dewi Lanjar yang tadi meninggalkan raga Lasih karena lemparan Ratman.

Tidak lama kemudian Lasih kembali siuman. Dengan sedikit tertatih dia berdiri dan kembali menjadi Sintren. Menari dalam kerinduan. Mendadak Ratman masuk ke kalangan dan langsung ikut menari di depan Lasih. Ke empat dayang-dayang hanya bisa pasrah melihat aksi Ratman. Mereka mengawasi dengan rasa kuatir Ratman akan berbuat tidak baik kepada sang Sintren.

Joget Ratman semakin slebor. Beberapa kali ia hampir jatuh. Pengaruh minuman keras membuat pikirannya tidak fokus. Gerakannya hanya mengikuti naluri tanpa mampu ia kontrol. Namun cemoohan dan teriakan penonton yang menyuruhnya keluar dari gelanggang tidak ditanggapi. Ratman terus berjoget sampai akhirnya Ki Bano meniupkan sesuatu ditangannya dan melemparkannya ke tubuh Ratman dengan cara dijentik menggunakan jempol sehingga tidak ada yang melihatnya. Lagi pula, penonton tidak akan ada yang tahu apa yang dilemparkannya, kecuali mereka yang bisa melihat hal-hal gaib.

Bukkk..! Tubuh Ratman tiba-tiba jatuh terkulai. Pingsan. Pukulan gaib yang dilontarkan Ki Bano tepat mengenai ulu hatinya. Ratman merasakan nyeri luar biasa pada dadanya. Beberapa anak buah Ki Bano langsung menggotong tubuh Ratman, membawanya keluar gelanggang dan menidurkan di bawah pohon jambu air. Setelah itu, Ki Bano segera menyadarkan Ratman dengan pukulan penawar dari jarak jauh. Seketika  Ratman tersadar, namun ia tidak mampu berdiri. Teman-temannya datang membantu.

“Badanku sakit semua,” keluh Ratman.

“Kamu terlalu banyak minum, Kang,” kata temannya sambil memapah Ratman.

“Ini belum seberapa. Biasanya satu baskom aku minum sendiri!” jawab Ratman tak senang karena kehebatannya minum-minuman keras diragukan.

“Iya, saya percaya. Kang Ratman jago minum. Cuma sekarang mungkin sedang tidak fit.”

“Sudah, jangan banyak omong,” bentak Ratman. “Sekarang antar aku pulang.”

Temannya langsung setuju. Salah seorang di antara mereka lantas mengambil motor.  Namun Ratman tidak cukup kuat duduk diboncengan. Terpaksa temannya ikut naik ke motor untuk menjepit tubuh Ratman sehingga motor bebek itu dinaiki tiga orang.

Sepeninggal Ratman, pertunjukan sintren semakin ramai. Terlebih ketika acara ‘balangan’ sudah dimulai. Tubuh Lasih berulang-ulang jatuh pingsan terkena lemparan. Ketika Ki Bano menyadarkan Lasih dengan cara memanggil kembali roh Dewi Lanjar, kru sintren lainnya memunguti benda-benda yang dilemparkan. Rata-rata benda itu berupa uang yang dibungkus dengan kertas. Ada juga yang isinya sebungkus rokok. Semua bergembira ketika ada benda yang mengenai tubuh Lasih. Ya, meski hanya terkena lemparan kertas berisi Rp 5.000 yang sudah diremas-remas, tetap sajaLasih akan jatuh karena Dewi Lanjar mendadak keluar dari tubuhnya. Mereka yang lemparannya berhasil mengenai tubuh Lasih, berhak untuk masuk ke gelanggang dan berjoget dengan sang primadona seperti yang dilakukan Ratman. Hanya saja Ratman melakukannya sebelum acara ‘balangan’ dimulai sehingga penonton kesal karena belum menikmati tarian Lasih secara utuh.

BERSAMBUNG


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Trending Articles