Menjelang sore, terjadi kegaduhan lainnya. Tetapi ini tidak ada hubungannya dengan Lasih. Semua mata kini tertuju pada laki-laki tua berbadan kurus. Begitu turun dari mobil yang diparkir agak jauh dari gelanggang sintren, laki-laki tua itu menebar senyum ramah kepada warga. Arya terheran-heran melihat antusiasme warga terhadap sosok itu.
“Juragan Tirta datang. Cepat kamu salami, biar dikasih uang,” ujar ibu paraboya kepada anak perempuannya yang masih berumur 5 tahunan.
Namun bocah perempuan itu tampak ragu. Ia tetap tidak mau jalan, meski sudah didorong-dorong. Terpaksa sang ibu menyeretnya.
“Ayo salaman!” perintahnya ketika sudah di depan Juragan Tirta. Namun kedua tangan anaknya justru mengepal dan wajahnya menunjukkan ketakutan. Juragan Tirta pura-pura tidak melihat hal itu dan terus berjalan sambil membagi-bagikan uang pecahan Rp 2.000 kepada anak-anak kecil yang menyalami dan mencium tangannya.
“Uh, bocah bodoh!” sungut ibu itu memarahi anaknya.
“Maaf Kang, beliau itu siapa ya?” tanya Arya kepada laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Matanya tertuju pada Juragan Tirta.
“Masa kamu tidak tahu. Itu Juragan Tirta,” jawabnya tanpa menoleh.
“Maksud saya, Juragan Tirta itu siapa?”
“Ya, juragan kapal.”
“Oh, dia memiliki banyak kapal? Kapal apa?” desak Arya.
Laki-laki yang ditanya menoleh dengan tatapan mata tidak suka. “Kamu orang mana? Bukan asli sini ya?”
“Iya, maaf. Saya mahasiswa dari Jakarta. Saya baru dua hari di sini.”
“Oh,” Hanya sepotong kata itu yang keluar dari mulut laki-laki itu dan matanya sudah kembali tertuju pada Juragan Tirta yang langsung masuk ke gelanggang dan dduduk kursi plastik dekat dupa.
“Juragan Tirta orang terpandang. Orang terkaya di kampong sebelah, Kampung Karang Tengah. Orangnya royal, suka bagibagi duit.”
Arya mengangguk meski masih belum paham. Perhatian warga sangat berlebihan.
“Dia mau memperistri Lasih,” sambung laki-laki itu.
Arya tersentak. Sekarang ia baru mengerti mengapa warga sangat antusias. Juragan Tirta tentu laki-laki yang sangat beruntung. Meski tubuhnya sudah mulai renta, tapi yang mau dinikahi tidak tanggung-tanggung: perawan ting-ting yang masih bau kencur!
Kedatangan Juragan Tirta ke acara pementasan sintren membuat suasana sedikit berubah. Apalagi beberapa centengnya yang datang duluan menggunakan tiga sepeda motor bertingkah melebihi pengawal presiden. Dua orang yang memakai pakaian safari warna hitam, tanpa bicara meminta kursi yang tengah diduduki warga. Bukannya protes, si warga malah menunduk-nunduk sambil menjauh. Setelah duduk, salah seorang di antaranya melepas kacamata hitam lalu menggantungnya di saku baju.
“Hai…minggir dikit!” teriak centeng yang tadi melepas kacamata pada penonton yang menghalangi pandangannya. Seperti juga pemilik kursi, penonton yang terkena tegur langsung bergeser tanpa protes.
Ki Bano pun terlihat sedikit kikuk dengan hadirnya Juragan Tirta. Ia sudah tahu niat Juragan Tirta untuk menikahi Lasih meski belum pernah diucapkan secara langsung kepadanya. Suara-suara di luar sangat gencar dan ia yakin kabar itu sengaja dihembuskan oleh orang-orang Juragan Tirta. Cara itu sudah sering dipakai oleh Juragan Tirta untuk mengetahui sejauh mana reaksi keluarga gadis yang diincarnya. Jika terlihat ada sign- ada isyarat positif, Juragan Tirta tinggal melamarnya tanpa takut lamarannya akan ditolak. Bahkan biasanya keluarga gadis itu akan menyodorkan meski secara tidak langsung.
Terserah anak saya saja. Pastinya dia akan bahagia karena derajatnya diangkat oleh Juragan Tirta. Begitu umumnya jawaban orang tua yang anak gadisnya tengah diincar Juragan Tirta. Jawaban itu keluar saat ditanya tetangganya yang kebetulan dekat dengan Juragan Tirta sehingga pasti akan sampai pada yang bersangkutan. Jika sudah begitu, biasanya Juragan Tirta segera mengirim satu pick up kebutuhan si gadis dan keluarganya dari mulai beras, ikan asin, make up sampai sabun mandi. Jika diterima, maka dua-tiga hari kemudian Juragan Tirta datang untuk melamar.
Tidak ada yang tahu persis sudah berapa kali Juragan Tirta menikah. Namun yang pasti istrinya tetap empat. Artinya ketika dia menikahi lagi, maka sebelumnya ia sudah menceraikan salah satu istrinya. Mantan istri-istri tidak ada yang protes karena Juaragan Tirta sudah mencukupi kebutuhan dia dan anak-anaknya, termasuk memberi rumah dan kapal ikan untuk disewakan kepada nelayan. Hanya saja rumah dan kapal itu masih atas nama Juragan Tirta. Ketika mantan istrinya menikah lagi, maka Juragan Tirta akan mengambil rumah dan kapal itu.
“Kie umah karo kapal e reang. Umahe kanggo ngaub anake reang. Kapale kanggo luruh pangan. Ari kae pan nikah maning ya kongkon lanange gawe umah karo luruh pangan dewek (Ini kan rumah dan kapalku untuk berteduh anakku dan kapalnya untuk cari makan. Kalau dia menikah lagi, ya suruh suaminya bikin rumah dan cari makan sendiri),” ujar Juragan Tirta ketika mengambil kembali rumah dan kapalnya.
Karena alasan itu juga, jarang ada mantan istri Juragan Tirta yang menikah lagi. Mereka tidak ingin membuat masalah dengan juragan yang memiliki banyak centeng dan namanya tersohor hingga seantero Cirebon. Beberapa orang yang tidak suka dengan sifat kawin-cerai Juragan Tirta memilih diam dari pada nanti berurusan dengan centeng-centengnya. Konon Juragan Tirta juga sangat dekat dengan Kepala Polsek dan Komandan Koramil sehingga sewaktu-waktu mereka bisa dipanggilnya ketika Juragan Tirta sedang ada masalah.
“Duite ora berseri,” guman warga ketika menceritakan kehebatan Juragan Tirta.
Lasih terus menari. Kini tariannya mulai berubah lebih dinamis. Tidak ada lagi orang yang berani melempar duit dibungkus kertas. Tidak ada juga yang berani menari di gelanggang.
“Eh, kon pan apa?” tegur Juragan Tirta ketika melihat salah seorang anak buah Ki Bano akan mengedarkan baskom untuk meminta sumbangan dari penonton.
Orang itu tampak kebingungan. Namun setelah melihat isyarat Ki Bano, dia akhirnya mendekati Juragan Tirta. Dari saku baju model jas, Juragan Tirta mengambil segepok uang lalu melemparkannya ke dalam baskom. “Cukup?” tanyanya dengan nada sarkasme.
Si pembawa baskom mengangguk sambil mundur. Beberapa penonton yang sudah menyiapkan uang untuk disumbangkan, tampak kecewa. Meski tidak ada kewajiban untuk memberi sumbangan, namun warga yang terhibur dengan pementasan sintren merasa punya tanggung jawab agar grup sintren yang disenanginya tetap bisa eksis sehingga lain waktu mereka masih bisa menontonnya. Sumbangan itu juga sebagai penegasan bahwa warga merasa ikut memiliki.
“Mentang-mentang orang kaya, semua mau dibelinya,” guman salah seorang penonton. Namun temannya buru-buru menyikut sambil melotot.
“Jangan bicara sembarang. Nanti kita susah sendiri!” bisik temannya dengan nada penuh tekanan.
Setelah puas menghibur penonton, terutama Juragan Tirta, Ki Bano kembali merapal mantra sambil menambah kemenyan di dupa. Kini Ki Bano bersiap menyadarkan Lasih. Setelah diberi asap kemenyan dan permohonan kepada Dewi Lanjar agar sudi meninggalkan raga sintren, Lasih pun tersadar. Ia lantas dipapah masuk ke rumah.
Juragan Tirta pun bergegas pergi setelah memberi dua lembar uang kepada bodor yang tengah memuji-muji dirinyanya.
BERSAMBUNG