Quantcast
Channel: Cerbung – yonbayucom
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Sintren Getun #4

$
0
0
Facebooktwittergoogle_plusredditpinterestlinkedinmail

Kampung itu sebenarnya berada di pinggir laut Pantai Utara. Tapi entah mengapa dinamakan Kampung Karang Tengah. Begitu memasuki kampung itu, bau amis ikan laut langsung menyengat. Jaring dan jemuran ikan yang dibuat seperti meja panjang dengan alas geribik bambu mendominasi isi kampung. Kedua benda itu nyaris ada di semua pelataran rumah warga. Bahkan aktifitas warga di siang hari tidak jauh dari kedua benda itu; yang laki-laki menjahit jaring, sementara istrinya sibuk menjemur ikan.

Ikan yang dijemur untuk dbuat ikan asin biasanya yang tidak laku saat dilelang di tempat pelelangan ikan (TPI) milik pemerintah yang berada tidak jauh dari Kampung Karang tengah. Tepatnya di Pelabuhan Perikanan  Indonesia (PPI) Gebang, Cirebon. Perempuan di kampung itu sangat terampil ketika memilah ikan-ikan hasil tangkapan suaminya. Sebab setiap jenis ikan memiliki harga berbeda. Bahkan andai sudah remuk sekalipun, tetap bisa diolah untuk kemudian dijual. Mereka mewarisi ketrampilan itu dari orang tuanya. Begitu seterusnya, berganti zaman, berganti generasi. Hanya kesejahteraan mereka yang tidak pernah berganti. Meski hasil tangkapan melimpah, mereka tetap tinggal di rumah-rumah sederhana di pinggir laut berdinding papan dan berlantai semen.

Kesibukan yang lebih ramai terlihat di rumah lantai dua di baris kedua deretan rumah yang berjajar sepanjang garis pantai. Halaman rumah lantai dua, berdinding beton dilapisi keramik merah itu terlihat paling luas. Ada banyak tempat penjemuran ikan, berjajar rapi layaknya meja-meja prasmanan. Setiap meja persegi panjang berukuran 4x 2 meter itu, diurusi oleh satu perempuan yang mengenakan caping lebar. Tubuhnya dibungkus kaos lengan panjang. Umumnya mereka memakai kain panjang sebagai bawahan. Namun ada juga yang memakai rok berumbai-rumbai sehingga akan tersingkap ketika angin laut bertiup agak kencang. Memperlihatkan pantatnya yang hitam.

Kesibukan tak kalah ramai ada di samping rumah yang dibuat seperti paviliun, terpisah dari rumah utama. Sekitar 15 laki-laki, rata-rata masih berusia muda, sibuk dengan jaring di depannya. Tangannya dengan lincah menyulam jaring yang robek. Jarum besar dengan ekor senar putih, menari-nari, keluar masuk lubang jaring, tanpa dilihatnya. Mata mereka lebih sering tertuju pada perempuan-perempuan parobaya yang tengah menjemur ikan. Ketika ada rok yang tersingkap, spontan mereka bersorak.

“Dasar mata ora sekolah,” sungut perempuan yang roknya tersingkap. Namun tidak ada upaya untuk menahan sibakan roknya. Tangannya tetap di atas meja jemuran ikan.

“Lah, ngamal sedikit. Kan lumayan ada tontonan gratis,” sahut laki-laki yang tadi bersorak paling kencang.

Meski dikelilingi tembok setinggi 2 meter, namun terdapat banyak pintu masuk sehingga para pekerja di situ tidak melulu melewati pintu depan yang berfungsi sebagai pintu utama, lengkap dengan gerbangnya. Saat itu pintu gerbang terbuka dengan dua penjaga di kedua sisinya. TIdak lama masuk mobil land cruiser. Setelah itu gerbang kembali ditutup.

“Sagor, kamu bersihkan ini,” kata Juragan Tirta setelah turun dari mobil sambil menunjuk dereta meja penjemuran ikan. “Cukup empat penjemuran saja yang kamu geser ke samping. Ajak Bagor sama Tur.”

“Memangnya mau ada hajatan, Gan?” tanya Sagor.

Juragan Tirta menoleh tapi tidak memberikan jawaban.

“Maaf, Juragan. Maksud saya kalau untuk hajatan, berarti jemuran yang depan rumah juga harus dibongkar dulu supaya…”

“Sing pan hajatan sapa?” sentak Juragan Tirta.

“Maaf, Gan.”

“Kalau disuruh jangan banyak komentar. Kerjakan saja sesuai yang saya suruh!”

“Siap, Gan.”

“Saya mau nanggap (mementaskan) sintren di sini. Tadi saya sudah ngomong sama Ki Bano.”

“Oh…” sahut Sagor senang. “Kapan nanggapnya, Gan?”
“Seminggu lagi. Sekalian mau selametan perahu baru,” jawab Juragan Tirta sambil berlalu.

Kebiasaan mengadakan selamatan setelah ketika perahu baru, sudah dilakukan Juragan Tirta sejak masih memiliki satu perahu. Kebiasaan itu terus dilakukan meski sekarang sudah memiliki 20 perahu. Setiap kali selamatan berarti pesta besar bagi para nelayan. Juragan Tirta akan membagi-bagi sembako dan juga uang kepada nelayan-nelayan yang dianggap sudah memberi keuntungan besar. Selain menyewakan perahu, JUragan Tirta juga kerap memborong hasil tangkapan ikan nelayan tanpa melalui tempat pelelangan.

“Jangan senang dulu. Itu uang syarat pesugihan,” ujar juragan lainnya yang tidak suka dengan Juragan Tirta.

Kabar Juragan Tirta memiliki pesugihan memang sudah dihembuskan sejak dulu, namun belum pernah ada yang bisa membuktikan.  Warga tetap antusias setiap kali Juragan Tirta mengadakan selamatan. Apalagi sekarang dibarengi dengan nanggap sintren. Mereka ingin melihat Lasih menari di Kampung Karang  Tengah.

Tidak jauh dari Karang Tengah, tepatnya di Losari Lor, nama Lasih lebih terkenal. Arya tidak kesulitan untuk menemukan rumah Lasih. Bahkan ketika masih di luar desa, anak Ki Bano itu tidak hanya dikenal di kalangan penggemar sintren, namun juga anak-anak remaja yang mungkin tidak pernah pernah menonton pertunjukannya. Setahu Arya, saat ini tontonan seni tradisional hanya digemari oleh orang-orang tua sebagai sarana bernostalgia masa muda mereka ketika seni tradisonal menjadi hiburan favorit.  Tidak jarang mereka bertemu jodoh di tempat-tempat keramaian seperti itu. Sekarang jodoh bisa didapat dari kamar dengan memanfaatkan biro jodoh online atau situs jejaring sosial.

“Sira pan ngomah Lasih (kamu mau ke rumah Lasih)? Lurus bae (lurus saja). Nanti di depan belok kiri, manjing (masuk) jalan tanah,” ujar serombongan remaja tanggung yang dijumpai tengah bermain bola di pinggir jalan desa.

Arya mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, ia memacu motor bebek sewaannya menuju tempat yang tadi ditunjukan. Setelah melewati jalanan aspal berlubang di tengah persawahan, Arya tiba di kampung Lasih. Sesuai petunjuk anak-anak tadi, Arya lantas berbelok ke kiri ketika bertemu pertigaan jalan. Jika hujan jalan tanah yang kini pasti berubah menjadi kubangan,  batin Arya.

Tidak jauh setelah masuk ke jalan itu, Arya tidak perlu lagi bertanya. Sebuah papan penunjuk arah menuju Padepokan Kemuning Senja dipaku pada pohon kelapa. Arya mengikuit arah panah dan berhenti di depans ebuah rumah berdinding kayu. Papan nama pedepokan  dari triplek dibuat asal jadi. Pasti dibuat sekali jadi, tanpa diukur terlebih dahulu. Huruf ‘a’ pada  kata “senja” tidak mendapat tempat sehingga sangat kecil dibanding huruf lainnya.

“Cari siapa, Kang?” tanya laki-laki parobaya yang ada di pelataran setelah Arya memarkir motor di depan rumah. Di teras seperangkat gamelan yang biasa digunakan untuk pentas sintren teronggok; membisu. Meski memiliki teras dengan pagar tembok setinggi setengah meter, rumah itu sama sekali tidak menampakkan kemegahan. Bahkan kesannya kusam dan suram. Apalagi lantai semennya sudah mengelupas hingga ke dalam. Mata Arya dengan leluasan menjelajah ke dalam rumah melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka.

“Eh, maaf Pak, mau tanya, apa Ki Bano ada di rumah?”

“Akang ini siapa?”

“Saya Arya, dari Jakarta.”

Laki-laki itu mengernyitkan kening lalu matanya menjelajah tubuh Arya.  Melihat hal itu, Arya buru-buru menyela, “Iya, saya dari Jakarta, tapi sementara ini tinggal di Cirebon karena sedang membuat tulisan.”

“Untuk keperluannya apa mau bertemu Ki Bano?”

“Ini terkait tulisan yang sedang saya bikin.”

Sekilas Arya menceritakan soal penulisan skripsi itu. Ia tidak yakin laki-laki di depannya bisa mengerti apa yang diterangkan. Namun Arya tidak terlalu peduli. Ia sudah cukup senang ketika laki-laki itu mempersilahkan Arya untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras sementara dia masuk ke rumah. Arya mengeluarkan laptop dari dalam ransel lalu menyalakannya. Beberapa saat kemudian ia mengumpat karena jaringan internetnya sangat lelet. Tidak sesuai iklannya, gerutu Arya. Padahal ia sengaja memilih modem kuning itu karena katanya jaringannya kuat hingga pelosok. Huft…

“Assalamualaikum…”

Arya menoleh dan spontan membalas uluk salam itu. Namun bibirnya tidak segera mengatup. Matanya tak berkedip hingga beberapa lama.

“Lasih?” ujarnya tanpa sadar. Ia tidak menyangka bisa bertemu penari sintren yang namanya tengah menjadi buah bibir di mana-mana, meski saat pergi tadi berharap bisa menemuinya. Penampilan Lasih benar-benar berbeda dengan yang dilihatnya saat pertunjukkan. Lasih terlihat cukup modis dengan balutan celana blue jeans dan kaos putih dengan tulisan ‘NY’.

“Maaf, bapak tidak bisa menerima tamu,” ujar Lasih.

“Oh, tidak apa-apa,” jawab Arya spontan. “Memang bapak sedang ke mana?”

“Ada di dalam, tapi tidak bisa diganggu. Maaf…”

“Sedang ada tamu?”

Lasih menggeleng. Rambut panjangnya ikut bergoyang. “Bukan. Tidak ada tamu. Bapak sedang melakukan ritual karena besok akan main di Karang Tengah.”

“Ee, bagaimana kalau saya bertanya-tanya sedikit?”

“Maaf, saya tidak bisa.”

“Kenapa?” kejar Arya. Namun setelahnya ia menyesali karena bertanya terlalu cepat.

Lasih tampak jengah ditatap sedemikian rupa oleh Arya. Ia melengos dan mencoba mengalihkan fokus perhatiannya pada induk ayam yang tengah mencari makan di bawah pohon pisang. Anak-anaknya mengerubuti dan langsung berebut ketika induknya mendapatkan cacing kecil. Suaranya sangat gaduh.

“Saya hanya penari sintren. Tidak tahu apa-apa,” ujar Lasih lirih sambil duduk di pagar tembok teras. Namun matanya tetap terarah ke induk ayam.

“Justru saya mau bertanya soal itu,” sahut Arya. Lagi-lagi ia menyesali rasa antusiasnya karena hal itu akan membuat Lasih semkain takut.

“Apa yang mau ditanyakan?” Wajah Lasih bergerak sedikit. Kini ia bisa melirik wajah lawan bicaranya. Tidak ada tanda-tanda orang ini bermaksud jahat, pikir Lasih. KI Bano selalu memperingatkan Lasih agar tidak mudah percaya dengan orang lain, apalagi yang baru dikenal. Namun Lasih tidak tahu apakah hal itu juga berlaku bagi tamu yang datang ke rumah. Mungkin maksud bapak orang lain yang ditemui di arena pertunjukkan, simpul Lasih.

“Sejak kapan Nok Lasih mulai menari sintren?” tanya Arya. Ia yakin usia Lasih jauh di bawahnya sehingga tepat menggunakan panggilan ‘nok’ sebelum menyebut namanya. Arya kemudian mengambil pulpen lalu bersiap untuk menulis apapun yang keluar dari mulut Lasih di atas kertas yang dijepit dengan white board.

“Mau ditulis?” tanya Lasih sambil memperhatikan white board di atas pangkuan Arya.

“Oh, iya. Kenalkan, nama saya Arya.”

Lasih menerima uluran tangan Arya, namun cepat-cepat ditariknya kembali. Wajahnya merona karena tatapan Arya langsung menghujam ke dalam matanya.

“Saya mahasiswa dari Jakarta yang tengah menyusun skripsi tentang kesenian sintren. Jadi semua cerita Nok Lasih akan saya catat supaya tidak lupa,” lanjut Arya.

“Sejak umur 8 tahun.”

“Sekarang umur Neng Lasih berapa?”

“16 tahun.”

“Nok Lasih memang suka menari sintren?”

Lasih tampak kebingungan. Pertanyaan itu dirasa aneh karena selama ini ia tidak pernah berpikir apakah suka ataukah hanya menuruti keinginan bapaknya.

“Maksud saya, ketika menari, Nok Lasih suka tidak?”

Kembali Lasih terdiam. Ia tidak pernah merasa suka atau tidak. Semua mengalir begitu saja. Bahkan ketika bapaknya memutuskan memakai Lasih sebagai penari utama- setelah sebelumnya hanya menjadi dayang-dayang atau penari pengiring, Lasih sama sekali tidak tahu apakah saat itu dirinya senang atau merasa terbebani.

“Saya tidak tahu,” jawab Lasih ketika Arya mencoba mengulang pertanyaannya dengan kalimat lain. “Saya hanya menari saja.”

“Saat berdandan di dalam kurungan, Nok Lasih sadar tidak?”

Kembali Lasih kebingungan. Ia tidak merasa sedang berdandan, namun juga tidak merasa didandani. Mana yang harus saya katakan, keluh,  Lasih  dalam hati.

“Nok Lasih tidak merasakan apa-apa ketika roh Dewi Lanjar manjing?”

Lasih menggeleng, pelan. Ia benar-benar gelisah.

“Tidak merasa ada roh yang menyusup dalan tubuh Nok Lasih?”

Kembali Lasih menggeleng. BERSAMBUNG


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Trending Articles