Dari dalam rumah terdengar seperti langkah tergesa. Sesaat kemudian muncul laki-laki yang tadi menegur Arya.
“Maaf, Kang. Nok Lasih mau diajak menemui Dewi Lanjar…”
“Di mana?” tanya Arya penuh semangat.
“Di ruang khusus ritual. Ki Bano sudah menunggu.”
“Boleh saya ikut melihat?” kejar Arya antusias.
Laki-laki itu menggeleng. Lasih pun buru-buru masuk ke rumah. Meninggalkan Arya yang kebingungan.
***
Kesuksesan pertunjukan sintren di rumah Juragan Tirta semakin melambungkan nama Lasih. Bahkan namnya sudah mengalahkan nama grup sintrennya sendiri. Orang lebih mengenal Lasih dibanding grup sintren Kemuning Senja. Lasih juga mulai dikenal oleh para pejabat setempat yang datang ke acara Juragan Tirta. Kini jadwal pentas Lasih semakin padat. Puncaknya ketika pada acara tujuh belasan Lasih diundang untuk pentas di pendopo kabupaten.
“Bano mulai kurang ajar!” sentak KI Sandireja. “Dia berani mengambil lahan kita!”
“Betul, Ki,” sahut Mustar, anak buahnya. “Malah yang aku dengar, Ki Bano berhasil mempengaruhi pejabat kabupaten melalui Juragan Tirta.”
“Kita musti membuat perhitungan! Jangan sampai periuk kita terguling!”
Betul, Ki. Kita harus ganti penari sintrennya. Mustika kalah cantik dibanding Lasih.”
“Koen ngomong apa?!” bentak Ki Sandireha tiba-tiba. “Laka sing ngalahna ayune Mustika.”
“Tapi kenapa sing terkenal Lasih?” bantah Mustar.
“Itu yang harus kita cari,” sambar Ki Sandireja tanpa menurunkan intonasi suaranya. “Pasti Bano sudah berhasil melakukan ritual di Gunung Ceremai.”
“Kalau begitu, Aki juga harus segara melakukan hal yang sama. Bukankan ilmu Aki lebih tinggi dari Ki Bano?”
Ki Sandireja menggeleng. “Terlalu lama, sementara semua juragan sudah terpincut dengan Lasih. Harus dihentikan secepatnya!”
“Bagaimana caranya, Ki?” tanya Mustar mulai cemas. Ia takut K Sandireja akan melabrak Ki Bano seperti yang sudah sering dilakukan ketika dia tengah tersinggung. Tidak peduli siapapun orangnya, bahkan aparat desa, pasti akan didatangi Ki Sandireja jika dianggap menganggu pertunjukkannya. Mustar masih ingat ketika dulu Ki Sandireja marah-marah di kantor kelurahan gara-gara dilarang pentas malam hari karena sebelumnya terjadi perang antar kampung gara-gara rebutan joget bareng Mustika.
“Sintren bukan penyebab kerusuhan. Dari dulu juga sudah biasa perang kampung. Mengapa sintren disalahkan?!” maki KI Sandireja kepada petugas kelurahan.
Namun akhirnya KI Sandireja mengalah setelah pihak kepolisian turun tangan dengan memberikan edaran terkait larangan pentas acara hiburan di malam hari. Sejak itu juga sintren selalu diadakan pada siang hari.
“Kamu temui Ratman. Bilang saya setuju dengan idenya!” perintah Ki Sandireja.
“Ide apa, Ki?”
Ki Sandireja tidak menjawab. Namun bahasa tubuhnya menyiratkan kemarahan yang amat sangat. Mustar tidak berani mendesak dan langsung pergi dari hadapan pemilik grup sintren Sekar Malam itu.
Setelah anak buahnya pergi, Ki Sandireja segera masuk ke rumah. Sesaat kemudian dia keluar lagi. Namun kali sudah berganti pakaian kebesaranya: baju lengan panjang hitam ukuran longgar. Kancing bajunya dibiarkan terbuka sehingga tonjolan tulang iganya terlihat menonjol, mendesak kulit perutnya yang sudah keriput. Sementara celana komprangnya juga berwarna hitam, selaras dengan udeng yang menghiasi kepalanya. Penampilan Ki Sandireja tak kalah gagah dibanding jawara Sunda pada umumnya. Apalagi, sebuah keris terlip di pinggang, tertutup selendang yang dililitkan di sekitar pusarnya.
Setelah mengeluarkan motor bebeknya dari garasi kayu di samping rumah, Ki Sandireja langsung memacunya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak menuju ke jalan aspal tapi ke arah laut, melalui tegalan di belakang rumah. Wajahnya sangat keruh sehingga orang-orang yang berpapasan dengannya memilih menyingkir. Malang bagi kawanan bebek yang tengah berada di atas tegalan. Tanpa mau menunggu pengangon yang tengah menghalau bebek-bebeknya agar masuk ke sawah, Ki Sandireja langsung menerebas rombongan bebek itu. Tak ayal, dua bebek patah kakinya. Sementara satu ekor lainnya, langsung mati karena lehernya terlindas roda motor. Sesaat kemudian Ki Sandireja menghentikan motornya, lalu menatap wajah pengangong bebek. Tidak ada ucapan apapun dari Ki Sandireja. Namun tatap matanya sudah cukup membuat pengangong bebek itu langsung meminta maaf dengan wajah tertunduk.
Ki Sandireja pun meneruskan laju motornya. Setelah melewati persawahan, kini roda motornya mulai menjejak tanah berpasir lalu naik ke jembatan kayu di atas sungai kecil yang memisahkan persawahan dengan rawa-rawa payau. Turun dari jembatan sepanjang 20 meter itu, Ki Sandreja lantas berbelok ke kanan, menyusuri tepian laut. Hari sudah lewat Magrib ketika Ki Sandireja tiba di tebing yang cukup curam. Ia memarkir motornya di atas pasir dan meninggalkannya tanpa kunci. Kakinya masih tampak sigap ketika naik ke atas batu besar yang berada tepat di bibir pantai. Bahkan batu itu sebenanya sudah berada di atas air laut. Bagian bawahnya berlubang terkena setiap hari terkena hempasan ombak.
Sampai di atas batu, Ki Sandireja berkacak pinggang sambil mengedarkan tatapannya ke laut lepas. Setelah puas menjelajah lautan, matanya lantas terpejam, sementara mulutnya sibuk merapal mantra. Usai membaca mantra, Ki Sandireja lantas turun ke laut melalui undakan batu. Konon undakan itu dibuat sendiri oleh Ki Sandireja. Ia menatah batu itu menjadi undakan hanya dengan tenaga telapak tangan, tanpa bantuan alat penatah. Cerita tentang kehebatan dan kesaktian Ki Sandireja tersebut terus didengungkan oleh anak buahnya sehingga warga pun percaya. Sebagian terpaksa harus percaya karena tidak ingin mengambil resiko dimusuhi Ki Sandireja dan anak buahnya. Sedang lainnya memilih mempercayainya karena bagi mereka percaya atau tidak percaya tidak ada bedanya.
Tiba di atas batu pipih yang sebagian lantainya terendam air laut, Ki Sandireja kembali merapal mantra. Setelah itu ia masuk ke gua. Lantai gua lumayan tinggi sehingga air laut tidak bisa masuk. Namun ketika datang ombak besar, sebagian di dindingnya basah terkena percikan air laut. Guratan bekas cipratan air tampak jelas di dinding gua; seperti lukisan.
Ki Sandireja duduk bersila di dalam gua yang gelap dan lembab. Kerisnya diletakkan tepat di ujung ibu jari kaki. Bersebelahan dengan anglo kecil yang dipakai untuk membakar kemenyan dan kain putih tempat bunga tujuh rupa dihampar. Tatapannya lurus ke depan, mencari batas laut di seberang. Mata tuanya tidak mampu menangkap apapun selain air laut. Namun tidak demikian dengan mata batinnya. Setelah menghaturkan salam dan membaca mantra yang menghubungkan dunia nyata dengan kegaiban alam, Ki Sandireja merasa jiwanya sudah masuk ke dasar laut, ke istana nan megah yang hanya dihuni oleh perempuan. Wajah dan tubuh mereka nyaris serupa sehingga susah dikenali. Satu-satunya pembeda hanya jumlah pada titik hitam di keningnya. Namun siapa yang berani menghitung titik hitam itu? Ki Sandireja tidak pernah berminta untuk menghitungnya. Bahkan ia pun menolak ketika salah satu di antara mereka menawarkan diri untuk diperistri.
“Aku masih ingin datang ke sini,” tolak Ki Sandireja dengan halus. Boleh saja mengambil 3-5 dari mereka untuk diperistri seperti juga yang dilakukan guru Ki Sandireja. Dewi Lanjar tidak melarangnya. Namun setelah memperistri danyang tersebut, maka dia tidak diperbolehkan lagi berkunjung ke istana di dasar laut itu. Ketentuan itu juga berlaku bagi danyang yang telah diperistri oleh manusia. Maka, ketika ada danyang yang sudah diperistri oleh manusia namun kemudian diceraikan, dia akan mengembara tanpa tempat tinggal. Biasanya, danyang berstatus janda tersebut akan berada di sekitar danau atau tasik yang jarang didatangi manusia.
BERSAMBUNG