Quantcast
Channel: Cerbung – yonbayucom
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Sintren Getun #6

$
0
0
Facebooktwittergoogle_plusredditpinterestlinkedinmail

Setelah lama menunggu, salah seorang danyang menemui Ki Sandireja. “Ibu Ratu tidak berkenan menerima tamu,” ujarnya.

Ki Sandireja tersentak. Kini bayangan istana megah di dasar laut itu hilang dari mata batinnya. Ia buru-buru memeriksa kembang tujuh rupa di atas kain. Ia memungut bunga kantil lalu menciumnya. Masih segar. Kini benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Dewi Lanjar tidak berkenan menerimaku? Padahal aku hanya ingin memastikan besok Dewi Lanjar tidak datang saat dipanggil Ki Bano.

Apa ada ubo rampe yang kurang? Setelah memastikan semuanya lengkap, Ki Sandireja langsung teringat pada Ki Bano. Pasti dia telah memagariku agar tidak bias berhubungan secara langsung dengan Ibu Ratu, pikirnya.

Dengan amarah meluap-luap, Ki Sandireja bergegas keluar dari gua. Tanpa menoleh lagi, ia langsung naik motor dan melarikannya dengan kecepatan tinggi. Namun arahnya bukan ke rumah. Sebab ketika tiba di ujung persawahan Ki Sandireja justru berbelok ke kiri. Melewati tegalan menuju perkebunan karet yang ada di batas desa. Ia menyimpan motornya di dalam perkebunan, lalu berjalan kaki dengan langkah tergesa. Ia baru berhenti setelah tiba di tepi perkebunan karet yang masuk ke wilayah desa seberang.

Mana Ratman? Seharusnya dia sudah di sini, ujar KI Sandireja dalam hati setelah memastikan orang yang dicarinya tidak ada di sekitar tempat itu.

Ki Sandireja semakin gelisah ketika dilihatnya Ki Bano datang bersama Lasih. Besok mereka hendak pentas di pendopo kabupaten sehingga malam ini pasti akan melakukan ritual di laut untuk memberitahu sekaligus mengundang Dewi Lanjar agar esok datang ketika dipanggil. Sebenarnya ritual itu bisa dilakukan di rumah, di kamar khusus. Namun ketika grup sintrennya nyaris bangkrut, Ki Bano selalu melakukan ritual di rumah dan juga pinggir laut sehingga KI Sandireja hafal rute yang dilalui. Apalagi tempat ritualnya juga tidak jauh dari gua milik Ki sandireja. Kini setelah grup sintrennya mulai moncer, Ki Bano tidak mau melanggar sumpahnya sehingga dia dan Lasih tetap melakukan ritual di pinggir laut sebelum esoknya pentas.

Sudah hampir magrib, keluh Ki Sandireja. Ia menggeser tubuhnya ke balik pohon karet sehingga tidak tampak dari jalan. Ia tidak mau KI Bano mengetahui keberadaannya. Setelah Ki Bano dan Lasih melewati jalan itu dan terus lurus menuju pantai, Ki Sandireja baru berani keluar. Ia lantas meninggalkan tempat itu sambil mengumbar caci maki.

 

***

Kilau cahaya bulan berpendar di atas air yang bergelombang. Sesekali terdengar deburan seperti lenguh penyesalan ketika ombak itu sampai di pantai; pecah tanpa daya.  Airnya menyebar ke segala penjuru, membasahi rumah ubur-ubur di dalam pasir yang kotor. Ketika akhirnya air kembali ke laut, ubur-ubur akan menyambutnya dengan sorak sambil berlarian di atas pasir. Namun sesaat kemudian, ketika ombak yang lebih besar datang mengancam, mereka pun serentak masuk ke dalam pasir. Menyembunyikan ketakutan untuk kembali bersorak saat ombak menjauh.

Di atas tebing karang, di bawah pohon bakau tua, Ki Bano tak henti merapal mantra. Dupa di depannya membara. Mengeluarkan asap.  Angin timur menerbangkan asap kemenyan itu, melarungnya hingga jauh ke tengah samudera. Seperti berkejaran dengan gelombang asap yang pergi meninggalkan dirinya, Ki Bano semakin kencang melafazkan mantra. Tubuhnya mulai bergetar. Lasih yang duduk di sebelahnya pura-pura tidak melihat. Matanya lurus menatap perahu-perahu nelayan yang mulai berangkat mencari ikan. Saya ingin seperti laut, pikir Lasih. Laut yang setia memberi makan kepada jutaan manusia di darat, tanpa keluh.

“Nok mau pulang duluan?” tanya Ki Bano tiba-tiba. Rupanya satu tahapan ritual sudah diselesaikan.

Lasih mengangguk. “Saya mau beli handphone di pasar Tegalgubuk.”

“Aku pan ngirim doa siji maning. Kalau kamu mau pulang dulu, ya sudah. Hati-hati,” kata Ki Bano. Sebelum Lasih beranjak ia sudah kembali pada sikap semula: tafakur di depan dupa dengan mata terpejam dan bibir merancau mantra.

Lasih pun buru-buru meninggalkan tempat itu. Masih sore, pikirnya. Kakinya yang kecil tanpa alas berlarian di atas tanah berpasir. Setelah menyeberangi jembatan kayu, kini kakinya menjejak jalan berkerikil. Ia sedikit menyesalkan mengapa motor kreditan yang dipesan bapak belum juga datang. Padahal ia sudah tidak sabar untuk belajar naik motor. Jika sudah bisa naik motor sendiri, tentu sekarang tidak pergi berlari-lari dengan telapk kaki terasa nyeri seperti ini, keluhnya.

Namun Lasih buru-buru meralat keluhannya. Ia sudah menjalani ritual ini puluhan kali dan tidak pernah mengeluh ketika harus pulang pergi jalan kaki. Bahkan dulu dengan perut lapar. Sekarang kondisinya sudah berubah seiring order pentas sintren yang semakin banyak. Lasih tidak perlu menahan lapar. Ia pun tidak pernah lagi mendengar keluh emak yang terpaksa harus ngutang beras ke warung. Saya harus bersyukur, kata Lasih dalam hati. Dengan kesadaran itu juga, ia mengurangi kecepatan langkahnya.  Berjalan santai sambil mendengarkan suara kodok bersahutan dari tengah sawah, membuat hati Lasih lebih tenang. Lagi pula belum terlalu malam. Mungkin baru jam tujuh, pikirnya. Ia akan langsung ke pasar Tegalgubuk karena biasanya penjual handphone di sana tutup jam 10 malam.

“Untuk apa beli handphone baru? Bukannya handphonemu masih bagus?” tanya Emak  tadi pagi.

“Saya ingin punya handphone yang bisa buat pesbuk, Mak. Yang ada kameranya juga supaya bisa pajang foto di pesbuk,” jawab Lasih.

Selepas persawahan, ketika hendak melalui kebun karet, tiba-tiba muncul sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Sesaat kemudian motor itu berhenti tepat didepannya. Pengendaranya turun.

“Nok, mau pulang?” tanyanya.

Lasih mengernyitkan kening, mencoba mengenal laki-laki di depannya.

“Iya, Kang,” jawabnya setelah mengenal laki-laki yang menegurnya.

“Ayo tak bonceng,” ajak laki-laki itu.

“Tidak usah, Kang,” tolak Lasih. Ia tahu siapa Ratman. Bapak sering menasehati agar dirinya tidak bergaul dengan orang-orang seperti Ratman.

“Ayo ikut!” desak Ratman. Tangannya berkelebat dan langsung menangkap tangan Lasih. Meski sudah mencoba meronta, namun  tenaga Lasih kalah kuat. Dengan sekali sentak, Ratman berhasil mendekap Lasih dan menyeretnya ke kebun karet.  Setelah mengikat Lasih dan menyumpal mulutnya dengan selendang yang sudah disiapkan, Ratman pun langsung melaksanakan aksi bejatnya. Dengan garang ia melumat tubuh mungil yang tak berdaya. Setelah puas, ia pun buru-buru meninggalkan tempat itu.

Lasih yang tidak berdaya, hanya bisa menangis. Awan di langit mendadak begitu pekat. Deru motor Ratman yang menjauh, terdengar bagai tembang kematian. Dengan sisa-sisa tenaganya, Lasih keluar dari kebun karet lalu berlari pulang. Jiwanya terasa hampa.

“Ada apa, Nok?” tanya Emak begitu melihat Lasih masuk dengan tangis berderai.

Lasih menggeleng. Ia berlari ke kamar, merebahkan dirinya di atas kasur tipis. Tubuhnya berguncang hebat. Emak segera mendekap tubuh anaknya. Air matanya tumpah. Firasatnya mengatakan Lasih telah mengalami kejadian besar.

“Lasih, ada apa? Katakan sama Emak, Nok,” bujuknya tanpa henti. Tangannya kian erat memeluk tubuh Lasih.

“Baju kamu robek? Kotor? Kamu jatuh?” berondong Emak begitu menyadari kondisi anaknya.

Lasih menggeleng. Tangisnya semakin keras.

“Ada apa? Cerita Nok, ada apa?” desak Emak.

“Saya…saya diperkosa, Mak!”

Jleg! Spontan emak menjerit histeris. “Siapa yang melakukan Nok?!”

“Kang Rat..Ratman!”

Emak merasa dunia berputar sangat kencang.  Badannya limbung. Nafasnya memburu. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Tanpa disadarinya, tubuhnya melorot, jatuh ke lantai. Pingsan. Melihat emak terjatuh tidak sadarkan diri, gantian Lasih yang menjerit. Ia mendekapnya sambil berteriak minta tolong.

Somad yang baru datang karena akan membahas rencana pementasan sintren esok di pendopo kabupaten, langsung menyerbu masuk. Dengan dibantu dua anak buah Ki Bano yang tinggal tidak jauh dari situ, emak diangkat ke ruang tengah.  Lasih bersimpuh di sampingnya dengan tangis yang semakin menyayat.

“Di mana Ki Bano?” tanya Somad.

“Masih ritual di pantai,” sahut lainnya.

“Cepat ambil air putih!”

Seseorang berlari ke dapur dan segera kembali dengan membawa segelas air putih. Somad membaca sesuatu di atas gelas lalu memercikkan airnya ke wajah emak. Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai kemudian emak tersadar. Namun tubuhnya tidak bergerak. Hanya  kelopak matanya yang terbuka, lurus menatap langit-langit rumah. Sepertinya ia tengah mengingat-ingat sesuatu.

“Kalian pulang saja,” ujar Emak, lirih. Tangannya bergerak mengusap kepala Lasih yang masih menangis.

“Ada apa, Mak?” tanya Somad.

“Biar nanti saya cerita sama Kang Bano dulu,” ujar Emak tanpa menoleh.

“Sangat penting? Biar saya jemput Ki Bano…”

“Tidak usah. Kalian pulang saja. Juga yang lain,” ujar Emak. Rupanya dia tahu sejumlah tetangganya sudah berdatangan dan ikut merubung.

Somad maklum. Ia lantas mengusir semua orang yang ada di rumah itu. Terakhir ia menutup pintu dan memastikan tidak ada lagi orang yang berada di sekitar rumah Ki Bano. Nalurinya meyakini ada sesuatu yang sangat rahasia dan itu ada hubungannya dengan sintren. Kini rumah itu kembali sepi. Hanya isak Lasih yang masih terdengar. Begitu liris dan ngelangut seperti lirik sintren yang biasa Somad nyanyikan. Nyanyian itu benar-benar menjadi requiem di saat malam mulai sempurna menebarkan jala hitamnya.

Namun belum juga sampai di rumah, Somad harus kembali ke rumah Ki Bano. “Cepat, Mang, dipanggil Ki Bano!” ujar seseorang yang menyusulnya.

Ketika Somad tiba kembali di rumah Ki Bano, tangis Lasih sudah reda. Namun wajahnya sangat pucat. Ki Bano, emak dan Lasih duduk di meja panjang di seberang meja. Sementara Somad dan dua rekannya- penabuh gending Sintren Kemuning Senja, duduk di hadapannya.

Setelah memastikan tidak ada yang menguping, Ki Bano membuka pertemuan kecil itu dengan suara tertahan. “Kita harus secepatnya mencari sintren untuk menggantikan Lasih!”

Somad dan kedua rekannya melongo. Namun mereka menahan diri untuk berkomentar karena masih menunggu alasan di balik keputusan tersebut.

“Malam ini juga kita harus bisa menemukan gadis perawan pengganti Lasih untuk pentas besok. Aku harus memandikan dan mengenalkannya terlebih dulu kepada Nyai Dewi Lanjar sebelum dia pentas…”

Sunyi. Sesekali terdengar seguk Lasih.

“Sebenarnya ada apa, Ki?” Mulut Somad akhirnya terbuka setelah Ki Bano tidak juga meneruskan kali

“Rika ora perlu ngerti!” jawab Ki Bano pendek. “Sing penting malam ini kita bisa mendapatkan pengganti Lasih!”

“Mana mungkin, Kang,” ujar penabuh saron. “Sekarang jarang ada yang mau jadi sintren. Kalau pun anaknya mau, belum tentu orang tuanya mengizinkan.”

“Iya, waktunya sangat mepet karena besok sudah harus pentas di pendopo kabupaten,” sambung lainnya.

“Bagaimana kalau khusus untuk besok kita tetap pakai Lasih, setelah itu baru kita cari…”

“Tidak bisa!” sentak Ki Bano. “Lasih sudah tidak memenuhi syarat sebagai sintren. Dia sudah tidak perawan…”

Mulut Somad ternganga. Demikian juga dua temannya. Meski sejak awal Somad sudah menduga telah terjadi peristiwa yang sangat berat terkait dengan sintren, namun sama sekali tidak terpikir jika peristiwa itu sedemikian dasyat karena langsung meruntuhkan semuanya. Seperti juga yang lain, Somad tahu kekuatan sintren Ki Bano terletak pada Lasih. Jika sekarang Lasih sudah tidak bisa menjadi sintren lagi, dengan sendirinya grup sintren Kemuning Senja pun akan bubar.

Sementara emak dan Lasih kembali menangis. Tanpa suara. Telaga di matanya seperti tak pernah kering, mengalirkan air hingga membasahi seluruh jiwanya.

“Apa yang terjadi, Ki?” tanya Somad setelah berhasil menguasai dirinya.

“Lasih diperkosa!”

“Diperkosa? Siapa yang berani melakukannya, Ki?”

“Ratman…”

“Bangsat!” umpat Somad dan dua rekannya nyaris bersamaan.

“Izinkan saya untuk membalasanya, Ki…”

“Jangan,” guman Ki Bano. Wajahnya terpekur. Jiwanya berontak. Bayangan Ratman berkelebat dengan senyum ejekan. Aku akan membunuhmu, erang hati Ki Bano. “Aku sendiri yang akan membereskan anak itu.”

Perlahan ketegangan mengepung ruangan itu. Semua tahu, Ki Bano bisa membunuh Ratman kapan pun, bahkan tanpa perlu beranjak dari tempat duduknya.

“Aku ingin tahu dulu, apakah Ratman melakukan itu atas inisiatif sendiri atau ada orang yang menyuruh…”

“Ki Sandireja,” potong Somad tiba-tiba.

“Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti,” ujar Ki Bano meski hatinya meyakini ucapan Somad.

“Lalu apa yang harus saya lakukan, Ki?”

“Kalau mencari pengganti Lasih untuk pentas besok, sepertinya tidak mungkin bisa,” sambung lainnya.

“Ya, kita tidak akan mencari pengganti Lasih,” kata Ki Bano tiba-tiba.

“Berarti pementasan di pendopo besok kita batalkan…”

“Tidak!” sentak Ki Bano. “Besok kita tetap akan pentas.”

Somad melongo.

“Lasih tetap akan jadi sintren,” lanjut Ki Bano. “Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu kasus ini.”

“Tapi seorang sintren harus gadis peraw…”

“Aku lebih tahu soal itu,” potong Ki Bano dengan nada datar. Namun semua tahu, ada tekanan amarah di sana. “Aku akan melawan kehendak alam!”

“Apakah itu tidak berbahaya, Ki?” tanya Somad hati-hati.

KI Bano tidak menjawab. Ia beranjak dari tempat duduknya dan langsung masuk ke ruang ritual. Dengan mulut bergetar ia merapal mantra. Tanpa disadari, air matanya menetes. Ketegaran yang coba ia pertahankan, bobol di tengah sunyi. Sebagai ayah, ia merasa sangat terpukul karena gagal melindungi anak gadisnya.

BERSAMBUNG


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Trending Articles