Quantcast
Channel: Cerbung – yonbayucom
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Sintren Getun #7

$
0
0
Facebooktwittergoogle_plusredditpinterestlinkedinmail

Pentas malam hari memberi sensasi lain. Meski cahaya lampu di pinggir alun-alun begitu terang, namun tetap saja suasana mistis lebih kental jika dibanding pentas pada siang hari. Tembang Somad mengundang dewa menyesap hingga ke relung hati. Ribuan orang yang tumpah di alun-alun depan pendopo kabupaten itu seperti tersihir. Anak-anak terdiam dalam gendongan ibunya. Para pedagang larut dalam nestapa.

Ki Bano memilih berdiri di belakang penabuh gamelan. Menyembunyikan kegelisahannya. Matanya nyaris tak berkedip mengawasi Lasih yang masih menari. Ia tahu Dewi Lanjar sudah datang dan merasuk dalam tubuh anaknya. Lasih menari dengan sangat gemulai. Bukan tarian biasa. Beberapa gerakkannya lain dari biasanya. Entahlah. Mungkin karena sudah lama tidak pentas malam hari, sehingga tarian Lasih tampak lain, guman Ki Bano. Namun tetap saja batinnya mengatakan bakal terjadi sesuatu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia pun menunggu; menunggu sesuatu yang ia yakini bakal terjadi namun tidak tahu apa bentuknya.

“Kapan acara balangane, Kang?!” seru penonton karena belum juga ada pengumuman soal acara balangan atau melempari tubuh sintren. Dua bodor yang biasanya memberitahu acara balangan, sepertinya juga masih menunggu isyarat dari Ki Bano.

“Iya, kapan kita bisa menari dengan Lasih?” seru lainnya tak sabar.

Ki Bano pura-pura tidak mendengar. Setelah terjadi saling-sahut di antara penonton, tiba-tiba sebuah bungkus melayang dan mengenai tubuh Lasih yang tengah menari. Penonton pun bersorak. Menanti tubuh Lasih jatuh terkulai. Namun setelah ditunggu beberapa saat, ternyata Lasih tetap berdiri dan terus menari. Sejurus kemudian benda-benda lainnya beterbangan dan sebagian besar tepat menghujam tubuh Lasih. Tetapi Lasih tetap saja menari di balik kaca mata hitamnya. Bahkan sepertinya dia tidak merasakan benda-benda yang mengenai tubuhnya.

Melihat hal itu, Ki Bano mulai panik. Ia maju ke gelanggang, sementara bodor mengambil barang-barang lemparan penonton yang berserakan. Ki Bano membimbing Lasih ke pojok meja tempat menaruh semua ubo rampe. Lasih dipaksa jongkok lalu tangannya diletakkan di atas dupa yang masih mengepul. Mulut Ki Bano tak henti merapal mantra, menyuruh Dewi Lanjar meninggalkan raga anaknya. Namun sampai beberapa saat, Tubuh Lasih masih tegang dan berusaha meronta karena ingin kembali menari.

“Menarilah satu babak lagi. Setelah itu aku mohon Ibu Dewi sudi pulang karena tubuh Lasih bukan rumahmu,” ucap Ki Bano setengah terbata.

Lasih berdiri dan langsung kembali ke tengah gelanggang. Ia terus menari dan menari. Satu dua penonton mulai masuk gelanggang dan ikut menari. Biasanya batasannya sampai sintren jatuh terkulai karena terkena lemparan. Namun kali ini karena sintrennya tidak juga jatuh, penonton lainnya yang juga ingin menari, mulai ribut, minta agar penonton yang saat itu tengah menari dengan Lasih mundur.

“Mundur, gantian oi…!”

“Iya, dimonopoli seperti istrinya saja!”

Ki Bano menarik nafas yang mulai memburu. Bayangan kekacauan sontak menyeruak. Ia sudah mencoba berbagai mantra, termasuk mantra pamungkas untuk memaksa roh Dewi Lanjar keluar dari tubuh anaknya, namun gagal semua. Apakah hal ini ada kaitannya dengan kondisi Lasih yang sudah tidak perawan? Namun sebelum Ki Bano bisa menjawab pertanyaannya sendiri, keributan yang sejak tadi dikuatirkan, pecah tanpa kendali. Tubuh Lasih dijadikan rebutan sejumlah penonton yang mabuk. Sementara penonton lainnya histeris, berlarian menyelamatkan diri untuk menghindari kerusuhan yang lebih besar. Beberapa kali tubuh Lasih jatuh ditarik kesana-kemari. Ki Bano yang mencoba menyelamatkan anaknya, tak kuasa menahan amukan penonton.

Butuh waktu dua jam dan puluhan ledakan senjata api ke udara sebelum aparat keamanan berhasil mengendalikan situasi. Berangsur-angsur lapangan kembali sepi. Ki Bano mencoba berdiri dengan tubuh nyaris ringsek. Kru sintren lainnya entah kemana. Pergi sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri. Sementara Lasih masih terus menari, dan menari di tengah lapangan yang kini sunyi.

Lasih dibawa pulang dengan menggunakan mobil bak terbuka milik Satpol PP. Sepanjang jalan Lasih terus menari. KI Bano yang duduk di bangku panjang di atas mobil itu- berdesakan dengan gamelan dan peralatan lainnya, hanya bisa memegangi tubuh anaknya agar tidak terjatuh. Tiga anggota Satpol PP sengaja duduk di pinggir bak mobil untuk melindungi penari sintren itu.

“Apa Lasih akan seperti itu terus, Ki?” tanya salah satu anggota Pol PP. Mobil sudah masuk ke jalan tanah yang tidak rata. Beberapa kali bak mobil berguncang sehingga Lasih nyaris jatuh.

Ki Bano menggeleng.

“Entahlah,” gumannya kemudian.

TIba di rumah, Lasih langsung dibawa ke dalam karena ternyata sudah banyak warga berkumpul di pelataran. Rupanya mereka mendengar kejadian di alun-alun dan kini ingin melihat secara langsung kondisi Lasih. Tiga anggota Pol PP berusaha membubarkan kerumunan massa yang kini merangsek ke dalam rumah.

“Bubar…bubar. Sudah malam, pulang semua!”

“Bagaimana kondisi Lasih? Apakah dia tidak terluka?” celetuk warga.

“Iya, kami ingin tahu kondisi Lasih. Kami semua sayang Lasih,” timpal lainnya.

“Lasih tidak apa-apa!” jawab Pol PP itu. “Dia hanya butuh istirahat. Makanya sekarang kalian semua bubar, pulang. Sudah larut malam…”

“Kami akan berjaga di sini. Kami akan menunggui Lasih!” potong warga.
Upaya para anggota Pol PP itu tidak membuahkan hasil. Warga tetap bertahan hingga akhirnya Ki Bano keluar. Wajahnya sangat kuyu dan letih. Dengan suara terbata ia meminta warga pulang.

“Jika situasi ramai, Lasih mengira pementasan belum selesai, maka dia akan terus menari. Pulanglah, Lasih butuh suasana sepi,” ujar Ki Bano.

Terdengar dengungan dan protes kecil. Namun sebagain besar mematuhi kata-kata Ki Bano. Berangsur halaman rumah Ki Bano ditinggalkan warga. Demikian jugta mobil Satpol PP dan para anggotanya.

Dengan langkah semakin lunglai, Ki Bano kembali ke dalam rumah dan berjongkok di depan Lasih yang masih menari di ruang tengah.

“Maafkan aku yang ceroboh, Nok” ujar Ki Bano. Setelah itu ia berdiri dan bergegas meninggalkan rumah.
Menyusuri jalanan yang gelap dan sepi menuju laut utara.

BERSAMBUNG


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Trending Articles